Istilah KEP mungkin terdengar asing di telinga Anda. KEP (Kekurangan Energi Protein) merupakan kekurangan gizi yang terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan bergizi, atau asupan kalori dan proteinnya kurang dalam jangka waktu yang lama. Mungkin Anda lebih mengenalnya dengan gizi buruk.
Sampai saat ini KEP masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia. Terutama pada penduduk yang tinggal di daerah terpencil, seperti di daerah NTT, yang terkadang tidak memiliki cukup bahan pangan untuk mereka. KEP ini banyak terjadi pada bayi dan balita yang daya tahan tubuhnya masih rendah serta perlu banyak nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya,
Penyebab KEP pada balita secara garis besar ada dua, yaitu kekurangan konsumsi zat gizi protein / kalori dan penyakit infeksi yang tidak kunjung sembuh. Dari dua penyebab ini, akar permasalahan sebenarnya adalah kemiskinan. Keluarga yang miskin belum tentu mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi memikirkan terpenuhinya zat gizi anak balita mereka dan membawa anaknya ke pelayanan kesehatan terdekat yang mereka tidak mampu membayar biayanya. Bayi atau balita yang tidak mendapat zat gizi yang cukup akan mudah terserang penyakit infeksi karena daya tahan tubuhnya rendah. Sedangkan bayi atau balita yang sudah terkena penyakti infeksi dan orang tuanya tidak mampu membayar pengobatan, lama kelamaan akan terjadi KEP. Memang permasalahan kemiskinan, kekurangan konsumsi zat gizi, dan penyakit infeksi akan terus saling berhubungan dan memicu adanya gizi buruk di Indonesia.
Akibat dari kurangnya konsumsi protein dan zat gizi lain yang penting bagi tubuh adalah KEP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang ditandai oleh adanya hambatan pertumbuhan, serta KEP berat, meliputi marasmus, kwashiorkor, bahkan marasmus-kwashiorkor pada bayi atau balita. Marasmus adalah penyakit KEP yang dominan disebabkan karena kurangnya energi dalam waktu yang lama. Tanda klinisnya adalah tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, rambut tipis dan kusam, tulang iga terlihat jelas, perut cekung, pantat kendur. Kwashiorkor adalah penyakit KEP yang dominan disebabkan kurangnya protein dalam waktu yang lama. Tanda klinisnya adalah wajah bulat dan sembab, apatis, edema, kedua punggung kaki bengkak, bercak merah kehitaman di tungkai atau di pantat, rambut mudah dicabut tanpa merasa sakit. Sedangkan marasmik-kwashiorkor merupakan kelainan gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor. Sungguh ironis melihat masih adanya bayi atau balita di Indonesia harus mengalami kondisi seperti itu.
Sebenarnya pemerintah bisa mengupayakan agar permasalahan gizi buruk seperti KEP ini tidak terjadi lagi di Indonesia, seperti pengaktifan Posyandu, program imunisasi, deteksi dini dan pengobatan semua penyakit infeksi, rehabilitasi (untuk memulihkan keadaan gizi bayi atau balita) dengan pemberian HEM (High Energy Milk) dan MP (Makanan Pendamping) ASI, program pendidikan gizi yang baik untuk ibu hamil dan ibu melahirkan, program promosi ASI, perbaikan sanitasi lingkungan, peningkatan produksi pertanian, subsidi harga bahan makanan, serta kampanye tentang bahaya gizi buruk di masyarakat. Sebenarnya beberapa upaya itu sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun semaksimal apapun upaya pemerintah, selama kemiskinan masih melanda sebagian besar penduduk Indonesia, permasalahan gizi buruk akan sulit diberantas.
Komentar